Sabtu, 24 Desember 2011

"OUT of BOX in LIFE" (part 2)

"OUT of BOX in LIFE" (2nd Part)
testimony by Christine Paulina
edited by Jelia Megawati Heru
  

Jakarta, 16 Desember 2011
Aku teringat dengan testimoni yang aku buat untuk konsernya Golden Fingers kemarin... Miss Jelia memberikan judul "Out of the Box" *. 

*Artikel "Out of the Box" dapat dibaca di: 
http://piano-ensembles.blogspot.com/2011/11/christines-practice-journal.html

Ya! Dan itu betul sekali dan di tahun ini aku betul-betul mengalami hal itu - tidak hanya di dalam musik saja. Kalau boleh share, mulai sejak dari pertengahan tahun ini aku betul-betul mengalami yang namanya OUT OF MY COMFORT ZONE!

 


MY TURNING POINT

Semuanya berawal dari ketika aku memutuskan untuk pindah kerja dari profesi guru piano di salah satu sekolah musik ke universitas terkemuka di Jakarta - yang betul-betul merupakan hal yang baru untukku. Lalu tiba-tiba aku mendapatkan tawaran untuk mengikuti project dari Miss Jelia. Buat aku, awalnya seneng-seneng saja, tapi ternyata setelah masuk dan ikut, tidak semudah yang kubayangkan. Sempet kaget kenapa Jelia nawarin aku, padahal mungkin ada juga alternatif teman-teman yang lain. Sekarang, ketika semuanya sudah lewat, aku tidak menyesali keputusan ini. Aku tahu, aku bisa belajar banyak seperti yang aku tulis di testimonial "Out of Box".



NEW JOB, NEW ENVIRONMENT & NEW OPPORTUNITIES

Mengajar di universitas sendiri buat aku, merupakan hal yang ada di luar dugaanku karena aku tidak pernah menyangka aku bisa diterima disana. Bayangkan aku mengajar didepan anak-anak yang badannya jaooh lebih besar dari aku! Selama ini aku hanya mengajar anak yang secara fisik lebih kecil dari aku dan aku bisa punya kuasa atas mereka - alias bisa dimarahin...heheheeee..^^ ). Tapi sekarang, aku harus mengajar mereka yang secara fisik badannya jaoooh lebih besar dan aku mengajar yang 1 kelas isinya 60 - 70 mahasiswa.  Luar binasa! Beberapa kelas yang aku ajar adalah anak teknik industri, yang mayoritas anak cowok-cowok... wah, berasa paling cantik sendiri karena tidak ada saingan! hahahaaaaa.... dan itu tidak cuma 1 kelas, ada 5 kelas di semester ini yang aku ajar dan jumlah mahasiswa 1 kelas rata-rata 50-70 anak!

Sampai hari ini, setelah tengah-tengah semester terlewati (sudah mid-test kemarin), aku coba mendekatkan diri ke mereka dan menganggap mereka sebagai teman (nggak berani galak-galak sama mereka karena badan mereka jauh lebih besar dari aku dan mereka bisa protes juga) hehehe.. nggak juga sih, tapi lebih karena ingin membangun hubungan baik saja dengan mereka. Hasilnya? Aku bisa dekat dengan beberapa dari mereka... nggak semua sih..Tapi ada beberapa yang dekat dengan aku. Trus, kalau di kelas bisa bercanda juga.  Sekarang aku lagi belajar bagaimana caranya bersikap tegas dengan mahasiswa yang agak-agak males gitu atau menegur mereka tanpa menyakiti mereka.

Pilihan berikut yang menjadi dilema buat aku adalah ketika aku harus memutuskan utk menjadi Faculty Member/FM alias dosen tetap. Di satu sisi, aku dengar ada usulan-usulan buat aku untuk tidak menjadi FM karena ada beberapa pertimbangan, tetapi ada juga yang menyarankan aku untuk mengambil kesempatan ini mumpung ditawarin... Dari orang tua menyarankan kalau bisa ambil saja - tidak ada ruginya dan bisa saja kesempatan ini tidak datang 2 kali... Kalau dari aku sendiri, sebetulnya agak berat karena masalah terikatnya itu dan mengerjakan kegiatan administratif di luar sebagai dosen - antara lain: mengajar, input nilai, koreksi, persiapan materi, buat riset, dan menulis jurnal. Tapi yah aku harus memutuskan apapun itu, aku cuma berharap keputusan yang aku ambil adalah keputusan yang tepat buat aku. Kalau ini adalah kesempatan yang dikasih buat aku, kenapa aku melewatkan kesempatan itu?  


DILEMMA, STRUGGLE & POINT of NO RETURN

Dengan bekerja dalam lingkungan yang baru, aku juga belajar lagi dan mau tidak mau HARUS BERADAPTASI dengan lingkungan baru (yang sebetulnya buat aku tidak mudah). Masuk di lingkungan baru, harus beradaptasi lagi, dan belajar hal-hal yang baru lagi.

Kalau aku boleh memilih... pengen deh balik ke zona nyaman ku... tapi di sisi yang lain, aku juga tahu kalau aku terus berdiam di zona nyamanku, aku tidak bisa berkembang karena berhenti di 1 titik...  aku tidak bisa melihat dunia luar karena aku sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri...

Di atas semuanya itu, aku melihat tahun ini adalah tahun dimana aku diberi banyak kesempatan untuk keluar dari zona nyamanku dan maju buat perkembangan diriku sendiri... walaupun sekarang ini aku ya masih dalam proses belajar, jatuh bangun, bersakit-sakit, kesandung, nangis bombay sampe nangis darah tapi aku harus segera bangkit dan maju - kalau tidak begitu, aku bakal ketinggalan karena waktu akan berjalan terus. Tahun ini, aku benar-benar ditempa habis-habisan...

Mama aku pernah bilang begini: "ya, sekarang udah waktunya Christine keluar dari zona nyaman nya Christine selama ini...bersusah-susah dulu, nanti pasti suatu saat Christine akan terima rewardnya" Amien to that!  Yah, sekarang aku cuma ngebayangin kapan yah aku dapat rewardnya? Sampai kapan aku musti bersusah-susah dulu?  Kalau mau jujur ya, aku sudah cukup capek hati dengan semua proses yang aku lalui dan terjadi sampai hari ini... tapi aku cuma terus bertahan saja, semoga aku bisa dapat rewardnya segera... ^_*  Penasaran sama reward nya nih...

Sambil nulis cerita ini, sambil sedikit menitikkan air mata dan menghela nafas panjaaanng bangeeett mengingat segala proses yang harus aku jalani ke depannya... 




When the world says, “Give up,” Hope whispers, “Try it one more time.” 

We all have a comfort zone where everything feels safe and familiar. We tend to not want to venture beyond it, however if we allow ourselves to stay there we will not be challenged, experience personal growth, or learn new and exciting things. In other words, we would stagnate. 

To Everything there's a season, a time for every matter, or purpose... HE has made everything beautiful in it's time... 

Experience is life's best teacher, but....
"Never shall I forget the time I spent with you. Please continue to be my friend, as you will always find me yours" - Ludwig van Beethoven

Rabu, 14 Desember 2011

THE PERPETUAL COMMOTION: "Pelajaran dari sebuah KEGADUHAN"

THE PERPETUAL COMMOTION
"Pelajaran dari sebuah KEGADUHAN"
by: Michael Gunadi Widjaya


"Manchmal Musik kann auch von einem Geraeusch geboren werden"
(artinya: "Terkadang kegaduhan pun dapat melahirkan musik")

Di jaman sekarang ini, mengkomposisi musik menjadi hal yang gampang, karena semuanya serba mungkin. Namun, mengkomposisi musik juga dapat menjadi hal yang sangat sulit, juga karena semuanya adalah mungkin. Idiom tersebut merupakan adagium dalam kompositoris musik modern. Dan nampaknya, karya Kevin Olson yang berjudul "PERPETUAL COMMOTION", dapat ditelisik dengan menggunakan adagium tersebut. 

Tentang makna Perpetual Commotion itu sendiri, terdapat banyak konsep dan pemahaman. Dari mulai sebagai istilah tata gramatik sampai menjadi istilah dalam game-game dunia maya. Saya pribadi lebih suka memaknai Perpetual Commotion dari Kevin Olson sebagai, sebuah kegaduhan yang berkesinambungan. Gaduh yang terus menerus, namun tentu saja tak mengarah pada chaostic yang tak terkendali.

 

Orang mengenal Kevin Olson sebagai pianis, komposer dan juga pedagog musik dari Amerika Serikat. Sebagaimana komposer lainnya yang berkarya dalam abad ke-20, Kevin Olson banyak mendapat pengaruh dari konsep yang berkembang di abad ini. Salah satunya adalah konsep tentang ide garapan yang diambil dari fenomena situasional. Sejak abad ke-20 mulai ide garapan komposisi musik tak lagi berkutat pada musik tarian, cinta, rasa sanubari, ketuhanan belaka. Ide garapan musik modern dapat berupa situasi tidak menyenangkan, gaduh, bising, dunia antah berantah, fantasi-fantasi liar yang kadangkala dapat terasa absurd. Ide garapan komposisi Perpetual Commotion dari Kelvin Olson menjadi menarik manakala kita proyeksikan ke dalam kehidupan manusia modern. Kehidupan kita semua. Dalam kerangka inilah, upaya pemaknaan Perpetual Commotion memulai napak tilas pemaknaannya.

Upaya itulah yang diusung oleh The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru di Istituto Italiano Di Cultura - Jakarta, 19 November 2011. Untuk piece ini, The Golden Fingers menampilkan para performer yang terdiri dari APRIL, DIOPUTRA OEPANGAT, DIRAYATI FATIMA TURNER, dan Miss JELIA MEGAWATI HERU. 

Sebagai sebuah pieces musik piano, Perpetual Commotion dari Kelvin Olson tergolong berdurasi singkat. Secara keseluruhan landscape kompositorisnya menampilkan sebuah situasi gemuruh yang cukup gaduh. Namun tetap dalam bingkai estetis yang menawan. Sebuah situasional landscape komposisi yang cukup sulit untuk di interpretasi. Terutama bagi anak-anak dan remaja. Seorang Jelia Megawati Heru, sebagai director nampaknya sangat berhasil mengakomodir para muridnya untuk memahami sebuah konsepsi kompositoris musik modern, yang didasarkan pada ide garapan yang tak lazim.


Pieces diawali dengan eksplorasi pada wilayah bass dengan menampilkan pola ritmik yang shuffle. Dioputra  melakukannya dengan sangat baik. Frasenya tegas, kuat, jelas dan feel shuffle-nya sangat terasa. Dengan kata lain, Dioputra malam itu berhasil menampilkan sebuah rasa „kegaduhan yang estetis“. Sinkopasi yang dibawakan April juga sangat efektif menimpali kegaduhan estetis bass dari Dio. Tentu saja, Miss Jelia memberi kontribusi yang tidak kecil. Dengan aura dan musikalitasnya, Jelia membimbing para muridnya untuk berasyik masyuk dalam sebuah situasi yang gaduh, dengan tetap menjaga kerapihan dan teknik bermain yang layak. Bersama dengan Dirayati, mereka berempat sangat menyatu. Dengan asyiknya saling menimpali, memberi aksentuasi, saling berkejaran frase, dalam bingkai yang berkesinambungan bertemakan kegaduhan. Saat piece ini tuntas, masih terasa aura para performer yang memberi kita pemaknaan dan pelajaran. Makna dan pelajaran dari kegaduhan, yang seringkali merupakan momok menakutkan bagi sementara orang.

     


The Golden Fingers memang lebih dari sekedar kelompok ensembel biasa. Melalui Perpetual Commotion, situasi gaduh menjadi bebas bising, dan para performer-nya dapat mengais makna untuk tetap saling berbagi rasa. Saling bertoleransi dan saling mempercantik apa yang telah dilontarkan oleh rekannya. Sebuah bentuk komunikasi rasa yang perlu dikedepankan ditengah kehidupan yang makin pupus dari rasa kebersamaan.

Jelia, sebagai director, dengan background music education-nya berhasil memberi pelajaran berharga. Bahwa kita senantiasa dapat belajar dari apapun, termasuk kegaduhan yang berkesinambungan, sejauh kita masih punya passion untuk musik dalam jiwa kita.


"CHAMPAGNE TOCCATA" - Selebrasi ala William Gillock

"CHAMPAGNE TOCCATA"
Selebrasi Ala William Gillock
 by: Michael Gunadi Widjaya 


Sudah menjadi opini umum, jika champagne identik dengan sebuah perayaan atau Celebration. Tentu saja nuansa yang menyertai champagne adalah sebuah keceriaan. Keceriaan yang berbalut rasa bangga. Kesan dan nuansa semacam itulah yang agaknya ingin disampaikan William Gillock melalui karyanya, "Champagne Toccata"


  

  

Ditilik dari judulnya, pieces tersebut menyertakan istilah “Toccata”. Sebuah kulminasi forma virtuoso, inversi dari kantata yang adalah kulminasi karya untuk musik vokal. Singkatnya, Champagne Toccata adalah sebuah selebrasi dalam ranah virtuositas sebuah komposisi. Dan selebrasi macam inilah yang coba diusung oleh The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru. Pagelaran di Istituto Italiano Di Cultura, 19 November 2011 memang sebuah perayaan. Selebrasi dalam maknanya yang paling luas.

Sosok William Gillock sendiri lebih di apresiasi sebagai seorang music educator. Komposisi William Gillock terfokus pada upaya permainan bersama antara guru dan siswanya. Dalam berbagai rentang usia, Jelia cukup taktis memilih repertoire karya William Gillock. Karya Gillock memang terbukti mampu untuk merangkai rasa - keterpaduan rasa antara guru dan siswanya. Untuk saling mencecap nuansa, berdialog dan berbagi dalam tematik sebuah perayaan.

Champagne Toccata diperuntukkan bagi 2 piano 8 tangan. Tingkat kesulitannya cukup menggelitik. Sebetulnya, pieces ini adalah komposisi dalam gaya Jazz tradisional yang sempat marak di New Orleans, USA. Secara keseluruhan, landscape kompositorisnya adalah musik profan, musik salon - sebuah genre musik hiburan. Namun William Gillock dengan teknik komposisinya mampu melakukan besutan, agar musik hiburan dapat pula dimaknai sebagai sebuah materi pendidikan musik. Hal demikian sebetulnya telah dilakukan Igor Stravinsky dalam "Le Histoire De Soldat", yang mengangkat bentuk musik hiburan menjadi lebih prestisius, meski belum pada tatanan sebagai materi pendidikan musik. 

Champagne Toccata mengeksplorasi dua pola ritmikal: gaya Swing New Orleans pada bagian awal, dan Tempo di Beguine. Saat mengeksplorasi gaya Swing, Gillock memakai tatanan harmoni yang lazim dipakai dalam Jazz tradisional, yaitu: Black Harmony. Tempo di Beguine, kental dengan progresi II-V-I yang romantis, dalam skala keterukuran nuansa Jazz tradisional.


The Golden Fingers Piano Ensemble, mengusung semua elemen tersebut dengan baik. Baik, dalam artian proporsional pada tuntutan kebutuhan aspek musikalnya. Formasi performernya adalah: Aprilia, Clarissa Rachel, Dirayati Fatima Turner, dan Miss Jelia Megawati Heru. Salah satu kesulitan utama memainkan Jazz tradisional adalah menjaga beat tetap steady. Jelia dengan teknik pianistiknya mampu menjalankan fungsi sebagai beat keeper dengan luar biasa. Jelia juga berhasil meng-conduct ketiga siswanya untuk dapat menyalurkan rasa Jazz dengan luwes dan proper tanpa berlebihan. Bagian Tempo di Beguine pun dihadirkan dengan romantisme yang pas. Serasa menikmati champagne ditengah romantis nya keremangan ruangan malam.


Memainkan piece semacam Champagne Toccata, pada esensinya memiliki dua aspek kesulitan. Teknik fraseringnya - sehubungan dengan karakter pola ritmiknya, dan rasa yang harus juga tersalurkan. Bagi sesama performer maupun bagi audiens. The Golden Fingers berhasil mengatasi keduanya. Karena Jelia sejak awal kiprahnya telah menjadikan piano ensemble bukan sebagai ajang unjuk teknik, namun sebagai ajang bersosialisasi melalui musik, dan...The Golden Fingers memang patut merayakannya!


Senin, 28 November 2011

Let's Pop Up Your Days with Balloooonss...

LET'S POP UP YOUR DAYS WITH..BALLOOOOONNSS….
by: Michael Gunadi Widjaya


Dunia anak-anak senantiasa menarik untuk digubah dalam bahasa musik. Debussy membuat komposisi tentang dunia anak. Frederico Mompou dengan gaya meditatifnya pun terpesona oleh dunia anak. Masih banyak lagi komposer terkemuka yang memperbincangkan dunia anak. Kepolosan, keluguan, keterbukaan, kejujuran, dan keceriaan dunia anak, sepertinya tak kan pernah habis untuk diperbincangkan dalam verbalitas musikal. Tak terkecuali bagi Ruth Ellinger.

Tak banyak data tentang Ruth Ellinger. Meski demikian kita bisa mengais makna yang dalam melalui karyanya, "BALLOON POP POLKA". Sebuah karya yang diperuntukkan 2 piano dan 4 pemain. Piece ini bukan sekedar berkisah tentang dunia anak. Bukan sekedar menyodorkan paparan keceriaan. Piece ini sarat dengan keunikan.

Seorang Gustav Mahler pernah berujar demikian: 
"Je weiter der Musik entwickelt, desto komplexer das Gerät durch den Komponisten verwendet wird, um seine Gedanken auszudrücken"

Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: 
"Semakin laju perkembangan sebuah jenis musik, semakin banyak pula aparatus yang dipakai/dilibatkan untuk mendukungnya."
 
Adagium ini dipakai dengan sangat baik oleh Ruth Ellinger. Balloon Pop Polka adalah sebuah MUSIK PIANO PLUS BALON!!! Balon sebagai sebuah aparatus yang menyatu penuh dengan idiom dan tata gramatik pianistiknya. Secara struktural, Balloon Pop Polka terdiri dari dua sekuen. Sekuen polka nya itu sendiri. Dan sekuen balon.

The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru, berhasil mentransformasikan keunikan karya Ruth Ellinger. Dalam konsernya di Istituto Italiano Di Cultura 19 November 2011. Keberhasilan transformasi dalam batasan, mempersembahkan sebuah piece utuh dengan balon, yang menyatu. Bukan sensasi murahan dan bukan memperlakukan balon sebagai kitsch.


 

Para performer masih berusia anak-anak. Mereka adalah: Agaputra Ihsan Oepangat, Madeline Audrey Wiguna, Lara Yavuzdogan, dan Angel Yoeshwono. Jelia sebagai seorang music educator jelas sangat berhasil membuat keempat siswa yang masih anak-anak untuk mencecap sangat banyak makna melalui piece ini.

       


      

Para siswa semenjak dini diperkenalkan terhadap konsep musik modern. Menggunakan aparatus diluar instrumen musik yang lazim, dalam konteks ini adalah balon. Juga pengenalan tuts hitam. Pieces ini dimainkan dalam F mayor, yang berarti ada teknik finger dexterity yang signifikan bagi pemain berusia anak. Juga world rhythm, dalam konteks ini adalah Polka. Dalam metrum 2/4 yang lincah. Ketepatan aksentuasi ritmik dalam aksen berupa letusan balon. Ada pula karakter harmoni „bertegangan“ yang muncul saat seorang pemain meniup dan melepaskan balonnya. Seorang Jelia malam itu dapat dikatakan berhasil menjadikan anak-anak sebagai sosok yang sublim dalam fantasi dan nuansa dunia anak-anak yang sejati.


 



Balloon Pop Polka, dalam konser malam itu dijadikan nomor pembuka. Bagi audiens, hal ini dapat ditangkap sebagai sebuah siratan makna. Bahwa pada awalnya, kesejatian, kepolosan, dan kejujuran lah hal utama dalam seni perbincangan kehidupan itu sendiri. Dan Jelia Megawati Heru bersama siswanya berhasil menyampaikan makna tersebut.

Kamis, 24 November 2011

RASA TANGO DALAM DUA PIANO

RASA TANGO DALAM DUA PIANO
 by: Michael Gunadi Widjaya


Konser The Golden Fingers Piano Ensemble di Istituto Italiano Di Cultura, Menteng 19 November 2011, menyisakan beberapa rasa untuk dicecap. Dicecap manis nuansanya. Dicecap warna semburat pesan moralnya, dan dicecap betapa the art of piano ensemble telah sampai pada kulminasi forma bathiniahnya. Jelia Megawati Heru sebagai director menunjukkan kepiawaiannya mengolah rasa sekaligus menaburkannya. Salah satunya adalah diperdengarkannya repertoire "LIBERTANGO" dari ASTOR PIAZOLLA untuk dua piano. Menarik untuk mencoba menguak pertalian dan nuansa antara Tango, Piazolla dan The Golden Fingers Piano Ensemble.

Gary Burton, vibraphonist Jazz terkemuka, mengemukakan bahwa Tango dari Astor Piazolla telah menjadi poros utama dalam Jazz. Jadi, bicara soal Libertango, yang adalah Tango versi Piazolla, kita sebetulnya masuk dalam ranah musik Jazz. Bukan Jazz seperti musik Duke Ellington dan Miles Davis. Melainkan Jazz dalam artian inner musical soulDeep soul from essential jazz musical approach. Bukan improvisasi, melainkan esensi muatan rasa dan nuansa. Keunikan lainnya adalah, Libertango, meski Jazz, seringkali dibawakan secara literer. Dimana literer merupakan sebuah budaya dalam musik klasik. Kesimpulannya, Libertango adalah musik dalam dua poros: Jazz yang sekaligus musik Klasik.

Sosok Astor Piazolla sendiri adalah seorang virtuoso bandoneon dan composer yang banyak me-revitalisasi musik tradisional. Khususnya musik Argentina. Dengan demikian, memainkan karya Piazolla sekaligus mengikuti napak tilasnya dalam upaya pemberian “baju baru” bagi musik tradisi.Yang tidak lain adalah sebuah langkah budaya, cultural movement untuk turut menjaga eksistensi sebuah budaya tradisi. Dari dua paparan tadi, nampak bahwa Libertango sarat dengan muatan budaya. Jazz yang sekaligus musik Klasik, dan bagaimana sebuah musik tradisi dikomposisikan dan di litererkan. Sangat tidak gampang memainkan Libertango sampai pada esensinya.


Yang tersaji dalam Konser The Golden Fingers adalah Liebertango untuk dua piano. Jelas forma nya adalah sebuah re-arrange. Pengaransiran kembali. Meski demikian esensi musikalnya tetaplah memadahi. Dalam arti, tak ada harmoni struktural yang tereduksi. Tetap sahih sebagai sebuah Libertango.

Dimainkan oleh Dioputra Oepangat dan Jelia Megawati Heru. Apa yang menarik dari sajian ini? Suasana dialogis. Suasana berbagi dengan kefasihan artikulasi dan verbalitas musikal yang seimbang. Jelia berhasil menghadirkan suasana Tango. Rasa Tango yang bisa dicecap audiens malam itu. Sebagaimana Daniel Barenboim melakukan hal yang sama dengan para pemusik di kampungnya. Juga dengan Tango.


Seorang Jelia Megawati Heru, berhasil mengawal Dioputra, muridnya, untuk melafalkan Tango. Hentakan beat sangat terjaga dan benar-benar goyang Tango. Progresi Akor yang khas Piazolla juga tampil dengan kegenitan yang menawan. Aksentuasi, idiomatika, tata gramatik musik, semuanya dapat hadir sesuai kelayakan porsinya. Dan, ini yang penting, Dioputra adalah pemain yang masih tergolong anak-anak.



Keberhasilan ini tentu tak terlepas dari upaya Jelia untuk mentransformasikan didaktik metodiknya. Saya sempat menyaksikan bagaimana sebuah konsep disiplin Jerman, diterapkan pada Dioputra untuk menyempurnakan teknik glissando sebagai akhir klimaks. Apresiasi juga layak diberikan pada Dioputra. Nampaknya Dioputra sangat menyukai Libertango ini. Minat itulah yang membawanya dapat menghadirkan frase rasa Tango dengan pas. Tentu saja, besutan bimbingan Jelia, sang mentor, sangat menentukan.

Menyaksikan Libertango malam itu adalah mencecap rasa Tango dalam dua piano. Rasa yang mestinya senantiasa berujar pada kita. Bahwa The Art of Piano bukanlah semata masalah dexterity dan interpretasi. Lebih dari itu. The Art of Piano juga adalah sebuah ruang. Ruang untuk berdialog dan berbagi dalam rentang ranah budaya yang tak terbatas.

Minggu, 20 November 2011

THE SWEETEST MEMORIES


THE SWEETEST MEMORIES 
PIANO ENSEMBLES "GOLDEN FINGERS"
by: Patrisia Trisnawati 


KENANGAN YANG TERINDAH
  
"Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupku
Yang telah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah"

Konser Golden Fingers - Sabtu, 19 November 2011 @ Istituto Italiano

Saat ini sudah hari Minggu 20 November 2011, dan saat ini semua sudah kembali melakukan aktivitas masing-masing sebagai guru, performer, pelayanan di gereja atau pekerja musik lainnya. Namun, apa yang sudah menjadi kenangan tak akan terlupakan dalam sejarah kehidupan.

Aku masih ingat bagaimana Miss Jelia menekankan bahwa “this is the moment”, dan kita harus “enjoy the moment”. Aku sungguh beruntung karena bisa menikmati malam konserku dan kini malam itu menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidupku.

Hari ini Amanda memulai BB Group dengan kata-kata “miss you all already”. Itu persis dengan apa yang kurasakan. Walaupun kami hari ini tidak bertemu, tetapi persatuan sosial yang kami alami selama proses latihan sampai konser tadi malam akan berlanjut dalam kehidupan kami selanjutnya dan tidak berhenti sampai disini. Dalam keseharian kami tidak banyak bertemu satu sama lain, tetapi akan selalu ada hubungan spesial antara kami masing-masing. Miss Jelia berhasil menciptakan hal ini dan kami patut berterima kasih pada beliau. Kami bukan hanya memiliki partner duet, tetapi kami juga memiliki sahabat baru dalam hidup kami. 

SIANG ITU...
Kami berkumpul sekitar  jam 11 pagi. Kami berlatih, berlatih, dan berlatih. Padahal semalam sebelumnya kami sudah melakukan gladiresik. Tetapi saat itu yang tampak pada kami adalah rasa takut… rasa takut bahwa ini segera berakhir… bahwa kami sudah merasa nyaman satu sama lain dan tidak ingin ini semua berakhir sampai disini. 

Siapapun diluar group ini tidak akan bisa merasakan hal ini, karena ini terjadi secara ajaib. Proses berlatih yang cukup intense, sekitar 3 bulan, dan semua proses kehidupan yang mengikutinya, telah membuktikan bahwa kami bukan hanya seorang pemain piano, tetapi kami adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidup kami. 

Ketika duduk bersama Amanda untuk berlatih "Carmen", kami bersama berbagi piano. Berbagi dalam arti yang sebenarnya, bahwa kami tidak mau menguasai piano ini untuk diri sendiri. Kami harus yakin partner duet kami nyaman dengan posisi duduknya. Kami harus bisa memberikan dukungan pada partner duet kami, sehingga partner duet kami bisa bermain dengan baik, dan bukan hanya diri sendiri yang menonjol. Ya, kami telah mencapai tahap ini. Disini tentu saja Miss Jelia berhasil menanamkan inti dari bermain piano ensembles.

MALAM ITU...
Kami selesai berdandan. Semua menjelma menjadi bidadari cantik. Entah siapa semua itu namanya… semua mengeluarkan aura paling cantik yang pernah kulihat. Dukungan demi dukungan terlontar dari mulut kami satu sama lain. Tiada pencelaan, tiada kebencian. Yang ada hanya kasih. Saat ada pemain yang nervous, pemain lain langsung mendukung dalam bentuk pelukan, atau comforting words. Masih sangat banyak bentuk perhatian dan kasih sayang diantara kami, sehingga kami lebih bisa nyaman dengan suasana kekeluargaan ini. 

Livi membawa beberapa pilihan untuk busana konsernya. Beberapa pemain lain memberi masukan mana yang paling baik. Kenapa ia bisa percaya pada masukan mereka? Karena, sekali lagi, kami telah menjadi dekat satu sama lain. Bukan lagi seorang pianis arogan yang bangga dengan pilihannya sendiri. Bukan lagi seorang pianis yang bangga dengan permainannya sendiri. Bukan lagi seorang pianis yang menjelek-jelekkan teman-temannya. Tetapi melebur menjadi satu tim dengan kerjasama yang baik. Menjadi kesatuan dalam "The Golden Fingers".

Kami tak sungkan memberi dukungan satu sama lain, 
“Kamu bisa, tadi bagus kok…jangan panik, enjoy aja..”

Lagu "In The Groove" yang kumainkan bersama Talitha dan Clarissa, menjadi  pembuka kenangan manis kami bersama group Golden Fingers. Aku berhasil memainkan melodi dengan baik, karena dukungan dari pencetus ketukan di awal lagu yaitu Clarissa dan Talitha sebagai bass. 

Lagu "Jambalaya", yang memang mengisahkan kenangan manis, membuatku yang duduk sebagai page turner, merasa terharu bahwa malam itu akan segera berakhir. Bahwa ini semua akan segera menjadi kenangan belaka dan kami akan kembali tenggelam pada aktivitas masing-masing. Tetapi terbukti, kami tidak putus hubungan.
 
Setiap lagu selesai dimainkan, kami yang stand by dibelakang panggung akan mendukung yang baru saja bermain, entah itu dengan pujian, pelukan, loncat bersama karena kegirangan, apapun caranya.. Hal ini tak terbantahkan lagi, “piano ensembles” dalam kehidupan telah berhasil kami capai.

Dalam lagu "Brazileira", aku dan Clarissa saling mendukung dengan manis. Dibelakang panggung kami berpelukan erat sebelum manggung, dan usai dari itu kami meloncat bersama. Clarissa will never forget this moment. 

Di akhir permainan "Carmen", Amanda mengatakan bahwa aku telah berhasil menonjol pada bagian solo. Aku mengatakan tentu saja itu berkat Amanda yang bisa menjadi supporter yang baik. Aku bersyukur bisa berpartner dengan Amanda dalam lagu tersebut. Tak lepas tentunya peran Clarissa dan Livi dalam bernafas dan “memberikan” nafas. 

"Thanks God" - Talitha

"Praise the Lord! Thank you, Jesus, for what we have done last night!" - Patrisia

Semua dapat menyelesaikan bagiannya masing-masing dengan baik…dan diakhir malam yang indah itu.….apakah yang Miss Jelia katakan kepadaku (yang tentunya kami nanti-nantikan)?
 
"KALIAN MAINNYA KEREEEEN!!!!"

(Hohoho…. gurunya udah bilang keren, itu artinya kemenangan!)

"Each moment of your life is a picture 
which you had never seen before and which you will never see again.
Time is like a river, each moment passes once and never again"
- Jelia -

Miss Jelia, thank you for giving us a rare opportunity like this. Thank you for making us your masterpiece. All the sweet memories are kept inside each of us. I hope you enjoyed this moment, as a celebration of your birthday. Happy birthday one more time. 

Love, from us all...

Patrisia narsis, hungry Amanda, Talitha terengtengteng, Clarissa bingung, Christine eksis, Kenia kepala goyang-goyang, dan Livia bola.