Kamis, 24 November 2011

RASA TANGO DALAM DUA PIANO

RASA TANGO DALAM DUA PIANO
 by: Michael Gunadi Widjaya


Konser The Golden Fingers Piano Ensemble di Istituto Italiano Di Cultura, Menteng 19 November 2011, menyisakan beberapa rasa untuk dicecap. Dicecap manis nuansanya. Dicecap warna semburat pesan moralnya, dan dicecap betapa the art of piano ensemble telah sampai pada kulminasi forma bathiniahnya. Jelia Megawati Heru sebagai director menunjukkan kepiawaiannya mengolah rasa sekaligus menaburkannya. Salah satunya adalah diperdengarkannya repertoire "LIBERTANGO" dari ASTOR PIAZOLLA untuk dua piano. Menarik untuk mencoba menguak pertalian dan nuansa antara Tango, Piazolla dan The Golden Fingers Piano Ensemble.

Gary Burton, vibraphonist Jazz terkemuka, mengemukakan bahwa Tango dari Astor Piazolla telah menjadi poros utama dalam Jazz. Jadi, bicara soal Libertango, yang adalah Tango versi Piazolla, kita sebetulnya masuk dalam ranah musik Jazz. Bukan Jazz seperti musik Duke Ellington dan Miles Davis. Melainkan Jazz dalam artian inner musical soulDeep soul from essential jazz musical approach. Bukan improvisasi, melainkan esensi muatan rasa dan nuansa. Keunikan lainnya adalah, Libertango, meski Jazz, seringkali dibawakan secara literer. Dimana literer merupakan sebuah budaya dalam musik klasik. Kesimpulannya, Libertango adalah musik dalam dua poros: Jazz yang sekaligus musik Klasik.

Sosok Astor Piazolla sendiri adalah seorang virtuoso bandoneon dan composer yang banyak me-revitalisasi musik tradisional. Khususnya musik Argentina. Dengan demikian, memainkan karya Piazolla sekaligus mengikuti napak tilasnya dalam upaya pemberian “baju baru” bagi musik tradisi.Yang tidak lain adalah sebuah langkah budaya, cultural movement untuk turut menjaga eksistensi sebuah budaya tradisi. Dari dua paparan tadi, nampak bahwa Libertango sarat dengan muatan budaya. Jazz yang sekaligus musik Klasik, dan bagaimana sebuah musik tradisi dikomposisikan dan di litererkan. Sangat tidak gampang memainkan Libertango sampai pada esensinya.


Yang tersaji dalam Konser The Golden Fingers adalah Liebertango untuk dua piano. Jelas forma nya adalah sebuah re-arrange. Pengaransiran kembali. Meski demikian esensi musikalnya tetaplah memadahi. Dalam arti, tak ada harmoni struktural yang tereduksi. Tetap sahih sebagai sebuah Libertango.

Dimainkan oleh Dioputra Oepangat dan Jelia Megawati Heru. Apa yang menarik dari sajian ini? Suasana dialogis. Suasana berbagi dengan kefasihan artikulasi dan verbalitas musikal yang seimbang. Jelia berhasil menghadirkan suasana Tango. Rasa Tango yang bisa dicecap audiens malam itu. Sebagaimana Daniel Barenboim melakukan hal yang sama dengan para pemusik di kampungnya. Juga dengan Tango.


Seorang Jelia Megawati Heru, berhasil mengawal Dioputra, muridnya, untuk melafalkan Tango. Hentakan beat sangat terjaga dan benar-benar goyang Tango. Progresi Akor yang khas Piazolla juga tampil dengan kegenitan yang menawan. Aksentuasi, idiomatika, tata gramatik musik, semuanya dapat hadir sesuai kelayakan porsinya. Dan, ini yang penting, Dioputra adalah pemain yang masih tergolong anak-anak.



Keberhasilan ini tentu tak terlepas dari upaya Jelia untuk mentransformasikan didaktik metodiknya. Saya sempat menyaksikan bagaimana sebuah konsep disiplin Jerman, diterapkan pada Dioputra untuk menyempurnakan teknik glissando sebagai akhir klimaks. Apresiasi juga layak diberikan pada Dioputra. Nampaknya Dioputra sangat menyukai Libertango ini. Minat itulah yang membawanya dapat menghadirkan frase rasa Tango dengan pas. Tentu saja, besutan bimbingan Jelia, sang mentor, sangat menentukan.

Menyaksikan Libertango malam itu adalah mencecap rasa Tango dalam dua piano. Rasa yang mestinya senantiasa berujar pada kita. Bahwa The Art of Piano bukanlah semata masalah dexterity dan interpretasi. Lebih dari itu. The Art of Piano juga adalah sebuah ruang. Ruang untuk berdialog dan berbagi dalam rentang ranah budaya yang tak terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar